Alloh menganugrahi 'pintu' informasi yang luar biasa, dengan
menghimpun 5 indera dalam satu tubuh individu. Dimulai dari rahim
seorang ibu, dimana indera ini telah lebih dahulu aktif bekerja ; indera
pendengaran. Lalu terlahirlah sang buah hati, mulai menghirup pekatnya
udara dunia dan sentuhan lembut 'malaikat bumi' yang membantunya menuju
'dunia baru' ; indera pembau dan peraba. Selang beberapa waktu, lidah
mungil sang bayi pun dimanjakan dengan colostrum yang mengandung berjuta
kebaikan bagi imunitas tubuh ; indera pengecap. Hingga akhirnya sang
buah hati dapat melihat wajah teduh sesosok wanita yang telah
melahirkannya ; indera penglihatan.
Maka rasa syukur sudah sepatutnya hadir membersamai segenap informasi yang dapat terjamah oleh indera kita. Sekarang,, cobalah fikirmu berinteraksi dengan alam imajinasi ; Andai setiap tubuh individu hanya dianugrahi salah dua atau salah tiga dari lima indera yg ada, bagaimana ia akan mencandra..? Mungkin ia masih dapat mencandra, tapi tentulah tak purna..
Dapat dikatakan, 'pintu utama' masuknya informasi dapat melalui dua perangkat yakni indera pendengaran (perangkat auditori) dan indera penglihatan (perangkat visual).
Ada keunikan korelasi antara perangkat auditori dengan perangkat verbal kita. Seorang penyandang tuna rungu akan berpotensi besar menyandang tuna wicara, jika ia menyandang tuna rungu sejak lahir atau maksimal sebelum usianya mencapai tiga tahun. Tapi seorang tuna wicara minim potensi untuk menyandang tuna rungu meskipun ia menyandang tuna wicara sejak lahir. Analogi sederhananya begini, karena tidak berfungsinya perangkat auditori maka pemerolehan bahasa melalui pendengaran (bahasa reseptif auditori) dan bahasa ibu tidak terjadi. Oleh sebab itu sang anak tidak memiliki perbendaharaan kata atau bahasa sehingga membuatnya berpotensi tuna wicara. Mengapa demikian? karena permulaan proses belajar untuk berbicara saat kita balita adalah dengan ekolalia (meniru atau membeo). Ya, ekolalia. Meniru semua kata yang tertangkap oleh indera pendengaran menjadi kata yang serupa, sama percis meskipun dengan terbata. Bukan dengan membaca suatu teks atau naskah ejaan. Namun untuk penyandang tuna rungu, ia masih dapat mengakses kata atau bahasa melalui bahasa ujaranan atau isyarat (bahasa reseptif visual), asalkan perangkat visualnya masih bekerja dengan baik.
Sekarang, kita beralih ke 'pintu utama' jalan masuknya informasi yang selanjutnya, yaitu indera penglihatan (perangkat visual). Penyandang tuna netra masih berpotensi besar untuk mengenal dunia, meskipun perangkat verbal-nya mengalami gangguan asal perangkat audiotori-nya masih berfungsi dengan baik. Karena ia masih dapat memperoleh kata atau bahasa yang masuk melalui indera pendengarannya (perangkat audiotori), dan ia pun dapat mengalih-fungsikan indera penglihatannya pada indera peraba (sentuhan kulit).
Namun, ketika seseorang itu menyandang tuna rungu, tuna wicara dan tuna netra sekaligus, bukan berarti ia tidak dapat mengenal dunia. Alloh menganugerahi kelebihan sensitifitas pada indra yang lain, indra peraba. Hingga ia mampu belajar melalui perangkat tersebut. Belajar melalui bahasa ujaran atau bahasa isyarat (bahasa reseptif visual). Seperti yang pernah dilakukan Helen Keller, kelahiran Alabama, 27 Juni 1880 silam. Helen kehilangan kemampuan bicara, mendengar dan melihat bukan sejak lahir, tapi sejak ia menderita sakit serius ketika kisaran umurnya mencapai 2-3 tahun. Ini sedikit contoh kasus yang terjadi. Kehilangan kemampuan bicara, mendengar ataupun melihat, tidak membuat seseorang lantas tak dapat mengenal dunia. Ia masih dapat mengenal dunia asalkan ia mau berjuang untuk melakukannya.
Sekelumit gambaran diatas menunjukan urgensi mendengar, karena dengan mendengar kita memperoleh perbendaharaan kata dan bahasa. Informasi pastinya terdiri dari kata, bahasa, angka dan lain sebagainya, sebelum akhirnya dikemas menjadi suatu data yang kompleks. Adapun pengertian informasi sendiri menurut Joner Hasugian, 'informasi adalah sebuah konsep yang universal dalam jumlah muatan yang besar, meliputi banyak hal dalam ruang lingkupnya masing-masing dan terekam pada sejumlah media.' Jadi, tak salah jika penulis mengatakan bahwa mendengar adalah pembuka gerbang cakrawala dunia.
Indera pendengaran adalah indera yang pertama kali aktif dan yang terakhir non-aktif. Karena, sebagaimana telah dikatakan dimuka bahwa saat kita berada dalam rahim ibu, indera pendengaran sudah aktif bekerja. Indera pendengaran adalah indera yang terakhir kali nonaktif, hal ini sesuai sabda Rasul dalam hadist berikut ;
Diriwayatkan oleh Bukhari dari sahabat Anas bin Malik Radliyallahu 'anhu, Rasul bersabda :"Sesungguhnya seorang hamba yang meninggal dan baru saja dikubur, dia mendengar bunyi terompah (sandal) yang dipakai oleh orang-orang yang mengantarnya ketika mereka sedang beranjak pulang, sampai datang kepada dia dua malaikat."
Bukan bermaksud mengesampingkan indera penglihatan. Mendengar dan membaca adalah satu kesatuan yang luar biasa. Menurut penulis, ada hal yang unik ketika wahyu pertama diturunkan kepada Rasul yang mulia dengan firman-Nya ; "Iqra!". "Bacalah!", padahal Rasul adalah seorang yang ummi (tak bisa baca tulis). Ini menunjukkan pentingnya membaca. Tapi dengan Rasul yang ummi bukankah berarti Rasul menerima wahyu dengan cara mendengar dan dengan bimbingan Malaikat Jibril as.
Allohua'lam..
Maka rasa syukur sudah sepatutnya hadir membersamai segenap informasi yang dapat terjamah oleh indera kita. Sekarang,, cobalah fikirmu berinteraksi dengan alam imajinasi ; Andai setiap tubuh individu hanya dianugrahi salah dua atau salah tiga dari lima indera yg ada, bagaimana ia akan mencandra..? Mungkin ia masih dapat mencandra, tapi tentulah tak purna..
Dapat dikatakan, 'pintu utama' masuknya informasi dapat melalui dua perangkat yakni indera pendengaran (perangkat auditori) dan indera penglihatan (perangkat visual).
Ada keunikan korelasi antara perangkat auditori dengan perangkat verbal kita. Seorang penyandang tuna rungu akan berpotensi besar menyandang tuna wicara, jika ia menyandang tuna rungu sejak lahir atau maksimal sebelum usianya mencapai tiga tahun. Tapi seorang tuna wicara minim potensi untuk menyandang tuna rungu meskipun ia menyandang tuna wicara sejak lahir. Analogi sederhananya begini, karena tidak berfungsinya perangkat auditori maka pemerolehan bahasa melalui pendengaran (bahasa reseptif auditori) dan bahasa ibu tidak terjadi. Oleh sebab itu sang anak tidak memiliki perbendaharaan kata atau bahasa sehingga membuatnya berpotensi tuna wicara. Mengapa demikian? karena permulaan proses belajar untuk berbicara saat kita balita adalah dengan ekolalia (meniru atau membeo). Ya, ekolalia. Meniru semua kata yang tertangkap oleh indera pendengaran menjadi kata yang serupa, sama percis meskipun dengan terbata. Bukan dengan membaca suatu teks atau naskah ejaan. Namun untuk penyandang tuna rungu, ia masih dapat mengakses kata atau bahasa melalui bahasa ujaranan atau isyarat (bahasa reseptif visual), asalkan perangkat visualnya masih bekerja dengan baik.
Sekarang, kita beralih ke 'pintu utama' jalan masuknya informasi yang selanjutnya, yaitu indera penglihatan (perangkat visual). Penyandang tuna netra masih berpotensi besar untuk mengenal dunia, meskipun perangkat verbal-nya mengalami gangguan asal perangkat audiotori-nya masih berfungsi dengan baik. Karena ia masih dapat memperoleh kata atau bahasa yang masuk melalui indera pendengarannya (perangkat audiotori), dan ia pun dapat mengalih-fungsikan indera penglihatannya pada indera peraba (sentuhan kulit).
Namun, ketika seseorang itu menyandang tuna rungu, tuna wicara dan tuna netra sekaligus, bukan berarti ia tidak dapat mengenal dunia. Alloh menganugerahi kelebihan sensitifitas pada indra yang lain, indra peraba. Hingga ia mampu belajar melalui perangkat tersebut. Belajar melalui bahasa ujaran atau bahasa isyarat (bahasa reseptif visual). Seperti yang pernah dilakukan Helen Keller, kelahiran Alabama, 27 Juni 1880 silam. Helen kehilangan kemampuan bicara, mendengar dan melihat bukan sejak lahir, tapi sejak ia menderita sakit serius ketika kisaran umurnya mencapai 2-3 tahun. Ini sedikit contoh kasus yang terjadi. Kehilangan kemampuan bicara, mendengar ataupun melihat, tidak membuat seseorang lantas tak dapat mengenal dunia. Ia masih dapat mengenal dunia asalkan ia mau berjuang untuk melakukannya.
Sekelumit gambaran diatas menunjukan urgensi mendengar, karena dengan mendengar kita memperoleh perbendaharaan kata dan bahasa. Informasi pastinya terdiri dari kata, bahasa, angka dan lain sebagainya, sebelum akhirnya dikemas menjadi suatu data yang kompleks. Adapun pengertian informasi sendiri menurut Joner Hasugian, 'informasi adalah sebuah konsep yang universal dalam jumlah muatan yang besar, meliputi banyak hal dalam ruang lingkupnya masing-masing dan terekam pada sejumlah media.' Jadi, tak salah jika penulis mengatakan bahwa mendengar adalah pembuka gerbang cakrawala dunia.
Indera pendengaran adalah indera yang pertama kali aktif dan yang terakhir non-aktif. Karena, sebagaimana telah dikatakan dimuka bahwa saat kita berada dalam rahim ibu, indera pendengaran sudah aktif bekerja. Indera pendengaran adalah indera yang terakhir kali nonaktif, hal ini sesuai sabda Rasul dalam hadist berikut ;
Diriwayatkan oleh Bukhari dari sahabat Anas bin Malik Radliyallahu 'anhu, Rasul bersabda :"Sesungguhnya seorang hamba yang meninggal dan baru saja dikubur, dia mendengar bunyi terompah (sandal) yang dipakai oleh orang-orang yang mengantarnya ketika mereka sedang beranjak pulang, sampai datang kepada dia dua malaikat."
Bukan bermaksud mengesampingkan indera penglihatan. Mendengar dan membaca adalah satu kesatuan yang luar biasa. Menurut penulis, ada hal yang unik ketika wahyu pertama diturunkan kepada Rasul yang mulia dengan firman-Nya ; "Iqra!". "Bacalah!", padahal Rasul adalah seorang yang ummi (tak bisa baca tulis). Ini menunjukkan pentingnya membaca. Tapi dengan Rasul yang ummi bukankah berarti Rasul menerima wahyu dengan cara mendengar dan dengan bimbingan Malaikat Jibril as.
Allohua'lam..
Komentar