Belum lama ini, tertanggal 14 Desember 2012, PAM JAYA menyebarkan surat pemberitahuan kepada para pengelola hidran dan MCK di Jakarta. Sebuah surat pemberitahuan yang berisi perihal pencabutan ijin pengelolaan hidran dan mck.
Dalam surat tersebut tertera Perda DKI No. 11 tahun 1993 yang menyatakan bahwa keberadaan hidran diperuntukan bagi penyaluran air bersih ke area yang belum terjangkau jaringan pipa PAM atau tidak ada sumber air bersih. Untuk area dimana jaringan air bersih sudah tersedia untuk pelanggan rumah tangga, maka Surat Izin Pengelolaan Hidran (SIPH) tidak akan diperpanjang dan pelanggan akan dimutasi menjadi pelanggan rumah tangga (2A2). Demikian point inti dari surat yang PAM keluarkan.
Sebuah kebijakan yang nampak wajar dan sesuai nalar. Karena memang begitulah seharusnya, apabila PAM sudah mampu menjangkau suatu daerah atau wilayah maka memang tak perlu lagi adanya hidran. Hal ini berarti bahwa tidak lagi diperbolehkan jual – beli air PAM.
Namun pada kenyataanya, kebijakan ini terasa sebelah pihak dan tak objektif. Pasalnya, yang dimaksud oleh PAM dengan kalimat : terjangkau jaringan pipa PAM adalah yang berjarak 6 meter dari pipa utama. Jadi jika lebih dari 6 meter, PAM tidak dapat menjangkaunya. Hal ini berarti mereka yang tinggal atau bermukim di daerah yang berjarak lebih dari 6 meter tidak dapat terjangkau oleh PAM. Padahal di daerah padat penduduk dengan kondisi kerapatan rumah yang tinggi dan banyaknya gang-gang sempit, membuat jarak rumah yang berada diposisi ‘pedalaman’ menjadi berjarak lebih dari 6 meter.
Belum lagi banyak para pendatang yang berstatus mengontrak, sedang pengelola kontrakan tidak menyediakan air PAM. Sehingga pastilah mau tidak mau, pemilik rumah yang berada di pedalaman gang dan para pengontrak tersebut harus mengambil air dari hidran terdekat. Jika hidran ditutup maka bagaimana suplay air bersih bisa mereka peroleh? Sedang pipa PAM tidak dapat menjangkau gang – gang sempit itu.
Sebagai contoh kasus, ada tetangga penulis yang memang hendak memasang pipa PAM. Namun apa kata pihak PAM ? Meraka menyampaikan bahwa orang tersebut tidak dapat memasang pipa PAM karena PAM tidak dapat menjangkau rumahnya yang memang berada cukup jauh dari saluran pipa utama.
Hal yang juga perlu diketahui oleh pihak PAM ialah bahwa gang – gang kecil dan sempit itu bukanlah sembarang gang yang bisa digali sesuai kehendak, karena gang – gang itu biasanya merupakan tanah warga yang memang sengaja disisakan untuk dijadikan jalan berupa gang sempit. Namun gang ini tidaklah bersifat wakaf. Jadi masih berstatus hak milik pribadi. Jadi tidak bisa sembarangan dipakai.
Jika hidran dan MCK ditutup, maka pastinya mereka tidak mendapatkan suplay air bersih. Jangan sampai kebijakan PAM ini menimbulkan 'inisiatif' masyarakat untuk melakukan pengeboran tanah guna dapat mengambil air tanah secara langsung. Pengeboran ini cukup menjanjikan karena mereka hanya perlu modal awal untuk pengeboran tanpa perlu membayar perbulannya. Ilegal.
Hal ini tentunya akan merugikan pihak pemerintah dan juga dapat berakibat pada krisis air bersih. Mengingat daerah resapan air di Jakarta sangat minim. Hampir semua lahan telah dipelur, disemen, menyebabkan tidak adanya lagi permukaan tanah langsung yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Apatah lagi jika air tanah itu dipakai oleh masyarakat secara ilegal ?
Harusnya PAM berterimakasih pada para pengusaha hidran dan MCK umum karena mereka adalah perpanjangan tangan dari PAM dalam melakukan pelayanan terhadap masyarakat.
Dalam surat tersebut tertera Perda DKI No. 11 tahun 1993 yang menyatakan bahwa keberadaan hidran diperuntukan bagi penyaluran air bersih ke area yang belum terjangkau jaringan pipa PAM atau tidak ada sumber air bersih. Untuk area dimana jaringan air bersih sudah tersedia untuk pelanggan rumah tangga, maka Surat Izin Pengelolaan Hidran (SIPH) tidak akan diperpanjang dan pelanggan akan dimutasi menjadi pelanggan rumah tangga (2A2). Demikian point inti dari surat yang PAM keluarkan.
Sebuah kebijakan yang nampak wajar dan sesuai nalar. Karena memang begitulah seharusnya, apabila PAM sudah mampu menjangkau suatu daerah atau wilayah maka memang tak perlu lagi adanya hidran. Hal ini berarti bahwa tidak lagi diperbolehkan jual – beli air PAM.
Namun pada kenyataanya, kebijakan ini terasa sebelah pihak dan tak objektif. Pasalnya, yang dimaksud oleh PAM dengan kalimat : terjangkau jaringan pipa PAM adalah yang berjarak 6 meter dari pipa utama. Jadi jika lebih dari 6 meter, PAM tidak dapat menjangkaunya. Hal ini berarti mereka yang tinggal atau bermukim di daerah yang berjarak lebih dari 6 meter tidak dapat terjangkau oleh PAM. Padahal di daerah padat penduduk dengan kondisi kerapatan rumah yang tinggi dan banyaknya gang-gang sempit, membuat jarak rumah yang berada diposisi ‘pedalaman’ menjadi berjarak lebih dari 6 meter.
Belum lagi banyak para pendatang yang berstatus mengontrak, sedang pengelola kontrakan tidak menyediakan air PAM. Sehingga pastilah mau tidak mau, pemilik rumah yang berada di pedalaman gang dan para pengontrak tersebut harus mengambil air dari hidran terdekat. Jika hidran ditutup maka bagaimana suplay air bersih bisa mereka peroleh? Sedang pipa PAM tidak dapat menjangkau gang – gang sempit itu.
Sebagai contoh kasus, ada tetangga penulis yang memang hendak memasang pipa PAM. Namun apa kata pihak PAM ? Meraka menyampaikan bahwa orang tersebut tidak dapat memasang pipa PAM karena PAM tidak dapat menjangkau rumahnya yang memang berada cukup jauh dari saluran pipa utama.
Hal yang juga perlu diketahui oleh pihak PAM ialah bahwa gang – gang kecil dan sempit itu bukanlah sembarang gang yang bisa digali sesuai kehendak, karena gang – gang itu biasanya merupakan tanah warga yang memang sengaja disisakan untuk dijadikan jalan berupa gang sempit. Namun gang ini tidaklah bersifat wakaf. Jadi masih berstatus hak milik pribadi. Jadi tidak bisa sembarangan dipakai.
Jika hidran dan MCK ditutup, maka pastinya mereka tidak mendapatkan suplay air bersih. Jangan sampai kebijakan PAM ini menimbulkan 'inisiatif' masyarakat untuk melakukan pengeboran tanah guna dapat mengambil air tanah secara langsung. Pengeboran ini cukup menjanjikan karena mereka hanya perlu modal awal untuk pengeboran tanpa perlu membayar perbulannya. Ilegal.
Hal ini tentunya akan merugikan pihak pemerintah dan juga dapat berakibat pada krisis air bersih. Mengingat daerah resapan air di Jakarta sangat minim. Hampir semua lahan telah dipelur, disemen, menyebabkan tidak adanya lagi permukaan tanah langsung yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Apatah lagi jika air tanah itu dipakai oleh masyarakat secara ilegal ?
Harusnya PAM berterimakasih pada para pengusaha hidran dan MCK umum karena mereka adalah perpanjangan tangan dari PAM dalam melakukan pelayanan terhadap masyarakat.
Komentar