Seorang guru meneteskan beberapa tetes tinta hitam pada sebuah wadah yang berisi 1/4 air. Dalam wadah yang bening itu, nampak sekali sifat cahaya ada padanya. Cahaya dapat menenbus benda bening. Memang air dan wadah itu nampak begitu jernih dan bening. Setelah ditetesi tinta, air yang semula jernih secara perlahan berangsur-angsur menghitam.
Tak berapa lama setelah mencampurkan air dengan beberapa tetes tinta tersebut, sang guru berkata, "Ini bukanlah percobaan kimia tentang koloid. Telah kalian lihat bahwa air dan tinta mulai berfusi. Awalnya homogen menjadi heterogen. Kira-kira bagaimana cara untuk membuatnya homogen, jernih kembali?"
Beragam jawaban dilontarkan oleh para murid. Mayoritas menjawab, "Dibuang saja airnya, terus diisi lagi."
Mereka memakai prinsip bahwa sebuah wadah harus dalam kondisi kosong jika ingin dapat menampung yang baru. Apalagi jika air itu dalam kondisi kotor, tercemar. Maka dibuang adalah solusi yang sepertinya tepat.
Gelas, Air dan Tinta
Percobaan yang dikemukakan diawal tulisan adalah sebuah bentuk penganalogian. Kita ibaratkan wadah tadi sebagai rumah pembentuk karakter. Pergumulan yang bermula dari lintasan-lintasan fikiran dalam benak kita dapat berevolusi menjadi karakter. Sebuah sifat yang seolah mengakar kuat. Menjadi citra jati diri. Ya, wadah itu ibarat ruang berfikir, otak kita. Sedang air dan tinta adalah selaksa informasi yang merasuki ruang berfikir tadi.
Jika kita analogikan demikian, maka apakah mungkin kita membuang semua informasi yang telah diterima oleh indera dan ditranslate oleh otak serta terjawantahkan dalam karakter? Kalaupun bisa dan ada, maka dampaknya adalah kehilangan seluruh memori yang pernah terinternalisasi dalam otak kita.
Ada satu alternatif yang cukup menjanjikan untuk menghilangkan tinta dalam jernihnya air tersebut, yakni dengan terus-menerus menambahkan air jernih pada wadah yang telah terkontaminasi tetesan tinta hitam tadi. Mungkin cara ini memakan waktu yang relatif lama. Butuh kesabaran dan kebertahapan.
Seperti itulah dakwah. Dalam berdakwah, menyeru, butuh kesabaran dan kebertahapan. Tak mungkin kita meminta mereka untuk memuntahkan segala apa yang telah dicerna oleh nalarnya dan telah menjadi kebiasaannya. Mengakar kuat menjadi karakter. Kita harus dapat istiqomah menuangkan air jernih secara terus-menerus, agar lama-kelamaan tinta itu tak nampak lagi karena telah terminimalisasi.
Kalau pun tidak benar-benar dapat menjernih, minimal kepekatannya berkurang.. Begitu pula dengan kita. Baik kita diposisi sebagai tersibghoh ataupun pensibghoh. Sama. Karena pada hakikatnya sang pensibghoh adalah orang yang sebelumnya telah tersibghoh. Minimal sibghoh itu mampu merubah seseorang menjadi lebih baik, meskipun hanya sekedar mengurangi satu perkataan buruk.
Tak masalah. Karena jalan kebaikan butuh kesabaran dalam berproses, kerbertahapan.
Selamat menjernihkan air dan tinta..
Tak berapa lama setelah mencampurkan air dengan beberapa tetes tinta tersebut, sang guru berkata, "Ini bukanlah percobaan kimia tentang koloid. Telah kalian lihat bahwa air dan tinta mulai berfusi. Awalnya homogen menjadi heterogen. Kira-kira bagaimana cara untuk membuatnya homogen, jernih kembali?"
Beragam jawaban dilontarkan oleh para murid. Mayoritas menjawab, "Dibuang saja airnya, terus diisi lagi."
Mereka memakai prinsip bahwa sebuah wadah harus dalam kondisi kosong jika ingin dapat menampung yang baru. Apalagi jika air itu dalam kondisi kotor, tercemar. Maka dibuang adalah solusi yang sepertinya tepat.
Gelas, Air dan Tinta
Percobaan yang dikemukakan diawal tulisan adalah sebuah bentuk penganalogian. Kita ibaratkan wadah tadi sebagai rumah pembentuk karakter. Pergumulan yang bermula dari lintasan-lintasan fikiran dalam benak kita dapat berevolusi menjadi karakter. Sebuah sifat yang seolah mengakar kuat. Menjadi citra jati diri. Ya, wadah itu ibarat ruang berfikir, otak kita. Sedang air dan tinta adalah selaksa informasi yang merasuki ruang berfikir tadi.
Jika kita analogikan demikian, maka apakah mungkin kita membuang semua informasi yang telah diterima oleh indera dan ditranslate oleh otak serta terjawantahkan dalam karakter? Kalaupun bisa dan ada, maka dampaknya adalah kehilangan seluruh memori yang pernah terinternalisasi dalam otak kita.
Ada satu alternatif yang cukup menjanjikan untuk menghilangkan tinta dalam jernihnya air tersebut, yakni dengan terus-menerus menambahkan air jernih pada wadah yang telah terkontaminasi tetesan tinta hitam tadi. Mungkin cara ini memakan waktu yang relatif lama. Butuh kesabaran dan kebertahapan.
Seperti itulah dakwah. Dalam berdakwah, menyeru, butuh kesabaran dan kebertahapan. Tak mungkin kita meminta mereka untuk memuntahkan segala apa yang telah dicerna oleh nalarnya dan telah menjadi kebiasaannya. Mengakar kuat menjadi karakter. Kita harus dapat istiqomah menuangkan air jernih secara terus-menerus, agar lama-kelamaan tinta itu tak nampak lagi karena telah terminimalisasi.
Kalau pun tidak benar-benar dapat menjernih, minimal kepekatannya berkurang.. Begitu pula dengan kita. Baik kita diposisi sebagai tersibghoh ataupun pensibghoh. Sama. Karena pada hakikatnya sang pensibghoh adalah orang yang sebelumnya telah tersibghoh. Minimal sibghoh itu mampu merubah seseorang menjadi lebih baik, meskipun hanya sekedar mengurangi satu perkataan buruk.
Tak masalah. Karena jalan kebaikan butuh kesabaran dalam berproses, kerbertahapan.
Selamat menjernihkan air dan tinta..
Komentar