Siang itu, panas tak terasai oleh bumi tempatku berpijak. Kondisi sekitar jalan pun tak nampak ramai. Sesekali terdengar desah angin membelai pepohonan. Siang yang begitu menggoda dengan nuansa kelabunya. Mendung bergelayut manja dilangit yang tak lagi bermentari.
Siang yang nikmat untuk berlelap kalap. Namun kenikmatan ini tak menyurutkan langkahku untuk tetap berangkat mengajar di bilangan rawamangun itu. Mengajar disebuah rumah megah.
Rumah itu sungguh unik. Layaknya rumah barbie. Semua aksesoris rumah tersebut sangat mendukung penilaianku. Ditambah corak warna disetiap dindingnya. Sungguh terasa berada di rumah barbie. Pemandangan yang sungguh memanjakan mata.
Aku diminta untuk mengajar Biologi guna mempersiapkan UN IPA SMP pekan depan. Dengan senang hati kuterima permintaan itu. Walaupun hanya untuk sekali mengajar. Yup, hanya untuk hari itu.
Pelajaran yang dminta adalah bab klasifikasi makhluk hidup. Monera, Protista, Fungi, Plantae dan Animalia. Sebuah bab yang menurutku kompleks. Dengan hati-hatiku coba menjelaskannya.
Jujur saja, sudah lama aku tak menyentuh bab ini. Karena selama ini lebih sering mengajar tingkatan SD. Pun kalau mengajar tingkat SMP, lebih sering mengajar mata pelajaran lain, diluar biologi. Seperti fisika atau matematika. Itu pun dengan kembali mempelajarinya. Jadilah aku 'rada-rada'. Rada lupa, rada kikuk, rada baca-baca lagi.
Semua berjalan cukup mulus. Walaupun kerada-radaanku tadi memang kacau. Hingga sampailah pada kingdom plantae. Bodohnya aku yang rada-rada ini. Aku benar-benar lupa menjelaskan bahwa ada 3 divisi dalam kingdom tersebut yakni paku, lumut dan tumbuhan berbiji. Tapi aku langsung masuk ke tumbuhan berbiji.
Tak lama kemudian, adik yang ku ajari pun menegur.
"Ka, bukannya dibagi jadi 3? Yang paku, lumut dan tumbuhan berbiji?", tanyanya heran.
Ku intip buku panduannya. Dengan mencoba untuk tetap stay cool, aku pun mengiyakan pertanyaan. Lalu dengan santainya aku berkata,"Wah, berarti kaka udah berhasil ngajar kamu nih.."
Ku lihat ia nampak bingung dengan jawabanku. Tanpa menunggu ia berkomentar, aku langsung menjawab kebingungannya.
"Iya, tandanya kakak udah jadi guru yang berhasil.. Kan guru yang berhasil adalah guru yang dapat membuat anak didiknya lebih pintar dari gurunya..", jawabku dengan senyum merekah.
######
Demikian sepenggal kisah tentang sekelumit aksi 'ngeles' guru atau pengajar. Sebagai guru atau pengajar, pernahkah kalian tidak melakukan aksi ini? Aksi me'ngeles'? Sebuah aksi yang sangat familiar ditelinga dan lingkungan proses belajar-mengajar.
Ini memang hal yang lumrah, manusiawi. Walau kadang terasa lucu sendiri. Tapi biar bagaimanapun, guru juga manusia. Adakalanya ia lupa, salah atau tak mengajar dengan prima.
Teringat sebuah statement, bahwa guru adalah sebuah profesi. Layaknya dokter. Mereka dituntut untuk dapat berlaku profesional. Sebuah laku dimana tak boleh ada cacat. Coba bayangkan, apa jadinya jika seorang dokter melakukan kesalahan kecil, misal ia lupa bahwa gunting operasi masih tertinggal di perut sang pasien. Pastilah ia langsung dituduh mal praktek. Maka, begitu pula seorang guru. Karena cacatnya guru sangat berimbas pada ilmu pengetahuan sang anak didik ke depan.
Beban seorang guru bukan hanya sekedar menyampaikan ilmu yang benar. Ada beban moral juga di sana. Beban yang seharusnya dapat merasuki jiwa-jiwa pendidik. Beban moral yang harus tertanam, dengan terus berfikir bahwa mereka harus berhasil,karena eberhasilan mereka adalah keberhasilan kita.
Menurutku, 'mengeles' ini menjadi dilema tersendiri. Kekeliruan yang dapat berakibat fatal. Maka, sebagai guru, janganlah malu untuk mengatakan tidak tahu atau lupa. Memang hal ini menyalahi kode etik ke-profesional-an, tapi hal ini lebih baik dibanding sok tahu yang dapat berakibat fatal.
Bisa jadi, inilah manfaat dari siasat mengeles tadi. Untuk mengcover ketidak-tahuan, lupa atau alasan lain, agar masih dalam bingkai keprofesionalan.
Siang yang nikmat untuk berlelap kalap. Namun kenikmatan ini tak menyurutkan langkahku untuk tetap berangkat mengajar di bilangan rawamangun itu. Mengajar disebuah rumah megah.
Rumah itu sungguh unik. Layaknya rumah barbie. Semua aksesoris rumah tersebut sangat mendukung penilaianku. Ditambah corak warna disetiap dindingnya. Sungguh terasa berada di rumah barbie. Pemandangan yang sungguh memanjakan mata.
Aku diminta untuk mengajar Biologi guna mempersiapkan UN IPA SMP pekan depan. Dengan senang hati kuterima permintaan itu. Walaupun hanya untuk sekali mengajar. Yup, hanya untuk hari itu.
Pelajaran yang dminta adalah bab klasifikasi makhluk hidup. Monera, Protista, Fungi, Plantae dan Animalia. Sebuah bab yang menurutku kompleks. Dengan hati-hatiku coba menjelaskannya.
Jujur saja, sudah lama aku tak menyentuh bab ini. Karena selama ini lebih sering mengajar tingkatan SD. Pun kalau mengajar tingkat SMP, lebih sering mengajar mata pelajaran lain, diluar biologi. Seperti fisika atau matematika. Itu pun dengan kembali mempelajarinya. Jadilah aku 'rada-rada'. Rada lupa, rada kikuk, rada baca-baca lagi.
Semua berjalan cukup mulus. Walaupun kerada-radaanku tadi memang kacau. Hingga sampailah pada kingdom plantae. Bodohnya aku yang rada-rada ini. Aku benar-benar lupa menjelaskan bahwa ada 3 divisi dalam kingdom tersebut yakni paku, lumut dan tumbuhan berbiji. Tapi aku langsung masuk ke tumbuhan berbiji.
Tak lama kemudian, adik yang ku ajari pun menegur.
"Ka, bukannya dibagi jadi 3? Yang paku, lumut dan tumbuhan berbiji?", tanyanya heran.
Ku intip buku panduannya. Dengan mencoba untuk tetap stay cool, aku pun mengiyakan pertanyaan. Lalu dengan santainya aku berkata,"Wah, berarti kaka udah berhasil ngajar kamu nih.."
Ku lihat ia nampak bingung dengan jawabanku. Tanpa menunggu ia berkomentar, aku langsung menjawab kebingungannya.
"Iya, tandanya kakak udah jadi guru yang berhasil.. Kan guru yang berhasil adalah guru yang dapat membuat anak didiknya lebih pintar dari gurunya..", jawabku dengan senyum merekah.
######
Demikian sepenggal kisah tentang sekelumit aksi 'ngeles' guru atau pengajar. Sebagai guru atau pengajar, pernahkah kalian tidak melakukan aksi ini? Aksi me'ngeles'? Sebuah aksi yang sangat familiar ditelinga dan lingkungan proses belajar-mengajar.
Ini memang hal yang lumrah, manusiawi. Walau kadang terasa lucu sendiri. Tapi biar bagaimanapun, guru juga manusia. Adakalanya ia lupa, salah atau tak mengajar dengan prima.
Teringat sebuah statement, bahwa guru adalah sebuah profesi. Layaknya dokter. Mereka dituntut untuk dapat berlaku profesional. Sebuah laku dimana tak boleh ada cacat. Coba bayangkan, apa jadinya jika seorang dokter melakukan kesalahan kecil, misal ia lupa bahwa gunting operasi masih tertinggal di perut sang pasien. Pastilah ia langsung dituduh mal praktek. Maka, begitu pula seorang guru. Karena cacatnya guru sangat berimbas pada ilmu pengetahuan sang anak didik ke depan.
Beban seorang guru bukan hanya sekedar menyampaikan ilmu yang benar. Ada beban moral juga di sana. Beban yang seharusnya dapat merasuki jiwa-jiwa pendidik. Beban moral yang harus tertanam, dengan terus berfikir bahwa mereka harus berhasil,karena eberhasilan mereka adalah keberhasilan kita.
Menurutku, 'mengeles' ini menjadi dilema tersendiri. Kekeliruan yang dapat berakibat fatal. Maka, sebagai guru, janganlah malu untuk mengatakan tidak tahu atau lupa. Memang hal ini menyalahi kode etik ke-profesional-an, tapi hal ini lebih baik dibanding sok tahu yang dapat berakibat fatal.
Bisa jadi, inilah manfaat dari siasat mengeles tadi. Untuk mengcover ketidak-tahuan, lupa atau alasan lain, agar masih dalam bingkai keprofesionalan.
Komentar