Akhir-akhir ini terdengar kabar penertiban tukang topeng monyet. Sebuah atraksi yang kerap membuat penontonnya takjub dengan aksi si monyet. Walaupun sejujurnya dalam hati merasa teriris, miris. Monyet berkalung rantai itu diseret-seret untuk mengamini pinta tuannya untuk berlaga. Meskipun si monyet bisa jadi tak paham benar apa mau tuannya.
Kebijakan yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, untuk penertiban topeng monyet sungguh terasa melegakan. Terutama untuk saya pribadi dan orang-orang yang berperikehewanan (penyayang/penyuka hewan). Hewan yang bernama latin Macaca fascicularis ini memang bukan termasuk dalam kategori hewan yang dilindungi, tapi biar bagaimanapun tetap harus dijaga dari eksploitasi mulai dari dipertontonkan hingga diperdagangkan.
Mengacu pada Undang-Undang Kesejahteraan Hewan di Indonesia yaitu UU no. 18 tahun2009 pasal 66 ayat 2g yang menyatakan bahwa perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan. Juga menelaah PP no 95 tahun 2012 Bab Kesejahteraan Hewan pasal 83 terutama ayat 1 dan 2b. Maka rasanya memang perlu dilakukan penertiban terhadap tukang topeng monyet ini. Karena monyet ekor panjang ini telah disalahgunakan, dipekerjakan untuk mencukupi kantong-kantong tuannya.
Amat setuju jika memang mengacu pada UU dan PP tersebut, namun belakangan tersiar kabar bahwa penertiban topeng monyet karena kultur jawa yang menganggap bahwa monyet membawa sial. Hal ini diungkapkan oleh budayawan Betawi, Ridwan Saidi, “Saya curiga Jokowi ini punya kepercayaan monyet itu bikin sial dirinya, jadi bawa sial. Ada kultur Jawa, dia kan kejawen, ya saya khawatir itu motivasi dia nyingkirin monyet," terangnya.
Persepsi budayawan ini bukan tanpa dasar, mengingat beberapa ulah Joko Widodo yang akrab dengan sebutan Jokowi, memang kerap memakai unsur kejawen, klenik. Misalnya saja prosesi memandikan mobil Esemka dengan kembang tujuh rupa yang kemudian mengalami kecelakaan hingga mobil tersebut ringsek. Jika acuan yang dipakai karena perkara kejawen seperti ini, amat disayangkan. Seolah melanggar mandat Pancasila yang menomor-satukan Tuhan, artinya sudah semestinya tidak menduakan Dia dengan praktek-praktek klenik. Tinggal tunggu saja, apa akibat dari kelakar ini.
Selain itu, rasanya ada ketidak-adilan. Atas landasan cinta hewan, orang nomer satu di Jakarta ini menertibkan topeng monyet, tapi beliau tidak menertibkan hewan-hewan lain yang juga menjadi eksploitasi, disalah-gunakan. Misalnya saja seperti ikan lumba-lumba, anjing laut, singa laut dan hewan-hewan lain yang digunakan untuk atraksi demi meraih keuntungan. Harusnya ada penyama-rataan. Perlindungan, kesejahteraan dan penyalah-gunaan tidak hanya diterapkan pada monyet sang tukang topeng monyet, tapi juga pada hewan-hewan lain yang meskipun nampak lebih ‘berkelas’ darinya.
Juga harus ada langkah konkret dari pemda DKI untuk mengantisipasi lonjakan pengangguran karena hilangnya mata pencaharian para tukang topeng monyet. Karena biar bagaimana pun, topeng monyet inilah lahan pekerjaan mereka. Mereka memang mendapatkan ganti rugi sebesar 1 juta rupiah untuk tiap monyet yang digelandang ke kebun binatang, tapi nominal ini tidaklah seberapa dibandingkan dengan kontinuitas penghasilan mereka sebagai tukang topeng monyet.
sumber foto: www.sosbud.kompasiana.com
Kebijakan yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, untuk penertiban topeng monyet sungguh terasa melegakan. Terutama untuk saya pribadi dan orang-orang yang berperikehewanan (penyayang/penyuka hewan). Hewan yang bernama latin Macaca fascicularis ini memang bukan termasuk dalam kategori hewan yang dilindungi, tapi biar bagaimanapun tetap harus dijaga dari eksploitasi mulai dari dipertontonkan hingga diperdagangkan.
Mengacu pada Undang-Undang Kesejahteraan Hewan di Indonesia yaitu UU no. 18 tahun2009 pasal 66 ayat 2g yang menyatakan bahwa perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan. Juga menelaah PP no 95 tahun 2012 Bab Kesejahteraan Hewan pasal 83 terutama ayat 1 dan 2b. Maka rasanya memang perlu dilakukan penertiban terhadap tukang topeng monyet ini. Karena monyet ekor panjang ini telah disalahgunakan, dipekerjakan untuk mencukupi kantong-kantong tuannya.
Amat setuju jika memang mengacu pada UU dan PP tersebut, namun belakangan tersiar kabar bahwa penertiban topeng monyet karena kultur jawa yang menganggap bahwa monyet membawa sial. Hal ini diungkapkan oleh budayawan Betawi, Ridwan Saidi, “Saya curiga Jokowi ini punya kepercayaan monyet itu bikin sial dirinya, jadi bawa sial. Ada kultur Jawa, dia kan kejawen, ya saya khawatir itu motivasi dia nyingkirin monyet," terangnya.
Persepsi budayawan ini bukan tanpa dasar, mengingat beberapa ulah Joko Widodo yang akrab dengan sebutan Jokowi, memang kerap memakai unsur kejawen, klenik. Misalnya saja prosesi memandikan mobil Esemka dengan kembang tujuh rupa yang kemudian mengalami kecelakaan hingga mobil tersebut ringsek. Jika acuan yang dipakai karena perkara kejawen seperti ini, amat disayangkan. Seolah melanggar mandat Pancasila yang menomor-satukan Tuhan, artinya sudah semestinya tidak menduakan Dia dengan praktek-praktek klenik. Tinggal tunggu saja, apa akibat dari kelakar ini.
Selain itu, rasanya ada ketidak-adilan. Atas landasan cinta hewan, orang nomer satu di Jakarta ini menertibkan topeng monyet, tapi beliau tidak menertibkan hewan-hewan lain yang juga menjadi eksploitasi, disalah-gunakan. Misalnya saja seperti ikan lumba-lumba, anjing laut, singa laut dan hewan-hewan lain yang digunakan untuk atraksi demi meraih keuntungan. Harusnya ada penyama-rataan. Perlindungan, kesejahteraan dan penyalah-gunaan tidak hanya diterapkan pada monyet sang tukang topeng monyet, tapi juga pada hewan-hewan lain yang meskipun nampak lebih ‘berkelas’ darinya.
Juga harus ada langkah konkret dari pemda DKI untuk mengantisipasi lonjakan pengangguran karena hilangnya mata pencaharian para tukang topeng monyet. Karena biar bagaimana pun, topeng monyet inilah lahan pekerjaan mereka. Mereka memang mendapatkan ganti rugi sebesar 1 juta rupiah untuk tiap monyet yang digelandang ke kebun binatang, tapi nominal ini tidaklah seberapa dibandingkan dengan kontinuitas penghasilan mereka sebagai tukang topeng monyet.
sumber foto: www.sosbud.kompasiana.com
Komentar