Banyak pertimbangan untuk melangkahkan kaki menuju pernikahan. Pertimbangannya bukan hanya perkara kesiapan material dan fisikal saja tapi juga kesiapan ruhani. Namun yang harus paling terus difikir ulang adalah kesiapan diri untuk menjadi seorang ibu. Ya, seorang ibu. Karena kita bukan sekedar mencari calon suami saja tapi juga calon bapak bagi anak-anak kita kelak. Maka sudah sepatutnya, persiapan kita pun bukan hanya terbatas mempersiapkan diri sebagai calon isteri saja tapi juga sebagai calon ibu.
Banyak faktor pembentuk kepribadian. Bukan hanya sekedar faktor genetis saja. Didikan orang tua dan lingkungan sekitar juga turut berpengaruh. Hal ini menyebabkan perbedaan yang unik. Yang membuat kita harus belajar untuk lebih bijak menyikapi perbedaan. Tidak lantas menjustifikasi tanpa mau melihat latar belakang pola didik, lingkungan dan berbagai aspek lain. Orang Jawa tentu akan berbeda karakter dengan orang Batak. Seorang yang diasuh dalam sebuah keluarga berpendidikan dan dalam lingkungan pesantren tentu akan berbeda dengan mereka yang asuh oleh keluarga yang minim ilmu.
Karakter didikan orang tua kita dahulu sangat melekat bahkan bisa dibilang mendarah daging dan diwariskan. Seorang anak yang didik oleh orang tuanya yang ringan tangan dan keras, bukan tidak mungkin kelak ia (anak tersebut) akan mendidik anaknya dengan cara yang serupa. Ringan tangan dan keras. Begitu pula jika orang tua mendidik anaknya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang maka kelak ia pun akan mendidik anaknya dengan perlakuan serupa.
Secara tak sadar, bisa jadi sifat mendidik ini akan diwariskan secara turun temurun, kecuali jika muncul kesadaran bahwa cara medidik orang tuanya dahulu keliru. Kesadaraan ini bisa jadi akan memutus mata rantai pewarisan dan bukan tidak mungkin akan menghasilkan perbaikan.
Landasan sebagai calon ibu dan cara mendidik anak inilah yang membuatku berfikir ulang untuk segera menikah. Karena ku sadar betul, pola asuh orang tuaku yang terbilang cukup keras sangat terbawa dalam keseharian. Menjadikan pribadiku terkenal galak. Aku pun sempat bingung dan bertanya-tanya, “Apa iya aku galak? Sebegitunya kah?”. Namun menurut beberapa teman perempuan yang kutanya, ia cenderung mengatakan aku tegas. Mungkin karena cara bicaraku yang cenderung berapi-api dengan intonasi yang cepat dan kencang, jadi kerap dikira emosi. Padahal menurutku, semua itu wajar, biasa saja.
Berlatar belakang didikan yang menurutku agak cukup keras inilah yang membuatku khawatir kelak akan mendidik anak-anak dengan keras pula. Walaupun, menurut orang tuaku, aku terbilang cukup penyayang terhadap anak kecil. Namun begitu, tetap saja rasa khawatir akan berpola asuh yang serupa dengan mereka -agak cukup keras-. Padahal, ingin rasanya bisa menjadi sosok yang tak pernah marah apalagi memukul anak-anak. Ingin bisa berbicara penuh kelembutan dan tak segan menunjukan kasih sayang -sebuah hal bisa jadi dianggap tabu oleh keluargaku-. Berucap kata maaf saat idul fitri saja terasa sangat kelu walau sejujurnya hati begitu berharap bisa mengutarakannya. Begitu pula menyatakan “Aku sayang ibu/bapak” atau menyatakan kerinduan setelah sekian lama tak bertemu. Semua terasa aneh. Terasa asing.
Pastinya butuh perjuangan ekstra keras untuk mendidik anak dengan pola yang berbeda sama sekali dengan yang pernah kita alami. Apalagi jika pendidikan sewaktu kecil yang kurang baik telah membentuk karakter kita. Sehingga tanpa sadar mungkin kita terkadang cenderung melakukan hal yang serupa pada anak-anak, dengan cara didik yang kurang baik yang pernah kita alami saat kecil. Telah begitu berbekas dan menjadi bayang-bayang. Namun ku yakin, dengan kemauan dan usaha serta bantuan dari sosok ayah yang sabar, kelak akan dapat membantu kita dalam menerapkan pendidikan yang baik untuk anak-anak.
Kini bukan saatnya kita mengutuk masa lalu. Sebuah sejarah lampau yang telah membentuk karakter kita saat ini. Mari kita belajar memutus pewarisan cara mendidik anak yang kurang baik. Bukan hanya untuk anak kita secara khusus tapi juga demi bangsa, negara dan agama. Karena anak-anak adalah aset pengemban estafet perjuangan kedepan. Jika baik pola didikannya, Insya Allah akan melahirkan pribadi yang berkarakter dan berdaya guna.
Banyak faktor pembentuk kepribadian. Bukan hanya sekedar faktor genetis saja. Didikan orang tua dan lingkungan sekitar juga turut berpengaruh. Hal ini menyebabkan perbedaan yang unik. Yang membuat kita harus belajar untuk lebih bijak menyikapi perbedaan. Tidak lantas menjustifikasi tanpa mau melihat latar belakang pola didik, lingkungan dan berbagai aspek lain. Orang Jawa tentu akan berbeda karakter dengan orang Batak. Seorang yang diasuh dalam sebuah keluarga berpendidikan dan dalam lingkungan pesantren tentu akan berbeda dengan mereka yang asuh oleh keluarga yang minim ilmu.
Karakter didikan orang tua kita dahulu sangat melekat bahkan bisa dibilang mendarah daging dan diwariskan. Seorang anak yang didik oleh orang tuanya yang ringan tangan dan keras, bukan tidak mungkin kelak ia (anak tersebut) akan mendidik anaknya dengan cara yang serupa. Ringan tangan dan keras. Begitu pula jika orang tua mendidik anaknya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang maka kelak ia pun akan mendidik anaknya dengan perlakuan serupa.
Secara tak sadar, bisa jadi sifat mendidik ini akan diwariskan secara turun temurun, kecuali jika muncul kesadaran bahwa cara medidik orang tuanya dahulu keliru. Kesadaraan ini bisa jadi akan memutus mata rantai pewarisan dan bukan tidak mungkin akan menghasilkan perbaikan.
Landasan sebagai calon ibu dan cara mendidik anak inilah yang membuatku berfikir ulang untuk segera menikah. Karena ku sadar betul, pola asuh orang tuaku yang terbilang cukup keras sangat terbawa dalam keseharian. Menjadikan pribadiku terkenal galak. Aku pun sempat bingung dan bertanya-tanya, “Apa iya aku galak? Sebegitunya kah?”. Namun menurut beberapa teman perempuan yang kutanya, ia cenderung mengatakan aku tegas. Mungkin karena cara bicaraku yang cenderung berapi-api dengan intonasi yang cepat dan kencang, jadi kerap dikira emosi. Padahal menurutku, semua itu wajar, biasa saja.
Berlatar belakang didikan yang menurutku agak cukup keras inilah yang membuatku khawatir kelak akan mendidik anak-anak dengan keras pula. Walaupun, menurut orang tuaku, aku terbilang cukup penyayang terhadap anak kecil. Namun begitu, tetap saja rasa khawatir akan berpola asuh yang serupa dengan mereka -agak cukup keras-. Padahal, ingin rasanya bisa menjadi sosok yang tak pernah marah apalagi memukul anak-anak. Ingin bisa berbicara penuh kelembutan dan tak segan menunjukan kasih sayang -sebuah hal bisa jadi dianggap tabu oleh keluargaku-. Berucap kata maaf saat idul fitri saja terasa sangat kelu walau sejujurnya hati begitu berharap bisa mengutarakannya. Begitu pula menyatakan “Aku sayang ibu/bapak” atau menyatakan kerinduan setelah sekian lama tak bertemu. Semua terasa aneh. Terasa asing.
Pastinya butuh perjuangan ekstra keras untuk mendidik anak dengan pola yang berbeda sama sekali dengan yang pernah kita alami. Apalagi jika pendidikan sewaktu kecil yang kurang baik telah membentuk karakter kita. Sehingga tanpa sadar mungkin kita terkadang cenderung melakukan hal yang serupa pada anak-anak, dengan cara didik yang kurang baik yang pernah kita alami saat kecil. Telah begitu berbekas dan menjadi bayang-bayang. Namun ku yakin, dengan kemauan dan usaha serta bantuan dari sosok ayah yang sabar, kelak akan dapat membantu kita dalam menerapkan pendidikan yang baik untuk anak-anak.
Kini bukan saatnya kita mengutuk masa lalu. Sebuah sejarah lampau yang telah membentuk karakter kita saat ini. Mari kita belajar memutus pewarisan cara mendidik anak yang kurang baik. Bukan hanya untuk anak kita secara khusus tapi juga demi bangsa, negara dan agama. Karena anak-anak adalah aset pengemban estafet perjuangan kedepan. Jika baik pola didikannya, Insya Allah akan melahirkan pribadi yang berkarakter dan berdaya guna.
Komentar